Kamis, 05 Februari 2009

Masalah Sosial di Sekitar Kita

Bunga Layu di Bandar Baru 

(sumber: http://www.analisadaily.com)

Kakinya terasa berat melangkah. Sudah dua jam Nining mengitari terminal Purwokerto ini. Tidak ada yang berubah, ketika dua tahun lalu, dia dan emaknya datang ke kota ini. Hanya beberapa toko kelihatan sudah mulai dipugar. 

Beberapa pedagang asongan terus menjajakan dagangannya ke setiap penumpang yang turun naik bus. Gadis bermata sipit dengan alis tebal itu, sesekali menelanjangi sudut demi sudut pertokoan di terminal itu. Orang yang ditunggu-tunggunya tidak juga kelihatan. Diliriknya arloji kecil di tangan. 

Sudah menunjukkan pukul empat sore. Tidak mungkin lagi dia balik ke kampung.
‘’Mau ke Jogya, neng?’’ Seorang laki-laki mengampirnya. Nining menggeleng.
‘’Adek ini mau ke Semarang, ya?’’ Dua lelaki agen bus menyapanya. Nining tak menjawab dan berjalan menjauhi keduanya. Dia hanya ingin bertemu temannya. Baginya, pertemuan itu sangat penting. Pertemuan yang kelak akan bisa mengubah nasibnya dan keluarganya. Jam menunjukkan pukul enam sore, yang ditunggu tak kunjung datang. Nining sudah kehabisan akal. 

Kembali ke kampung, sebuah keputusan yang baginya sia-sia. Toh, ketika pamit dan membawa pakaian seadanya, Nining sudah dianggap merantau mencari pekerjaan.
‘’Mudah-mudahan kamu bisa cepat-cepat kirim uang ke sini.’’ Begitu pesan maknya saat Nining berpamitan.
’’Jangan lupa kasih kabar begitu kamu sampai di Jakarta,’’ Mang Karto, adek tertua ayahnya berpesan. Dia hanya bisa menitipkan uang sepuluh ribu sebanyak tiga lembar. Katanya untuk jaga-jaga. Dia pegang erat-erat uang itu. Selembar diambilnya, sambil melangkah ke warung. Sore sudah berangkat malam. Yang ditunggu tak kunjung muncul.
’’Sudah hampir satu jam kamu di sini. Emangnya nunggu siapa?’’ pemilik warung bertanya sambil membereskan dagangannya.

’’Teman, bu. Janjinya sih jumpanya jam empatan gitu.’’
’’Laki?’’
’’Hm, nggak. Perempuan.’’
’’O, teman satu sekolah?’’
’’Iya. Janjinya mau nawarin kerja di Jakarta.’’

’’Wah, zaman sekarang, susah nyari kerja di Jakarta.’’
’’Iya, sih, bu. Mudah-mudahan pekerjaan itu ada. Saya sangat butuh.’’
’’Oh kamu mau cari kerja? Saya ada kenalan. Dia udah sering memberangkatkan orang ke Medan.’’
’’Medan?’’
’’Ya. Jadi pelayan rumah makan. Gajinya lumayan, lho. Sebulan dua juta.’’

Nining terdiam. Perkataan terakhir wanita itu dipikirkannya. Medan? Dia sama sekali belum pernah menginjakkan kaki ke kota itu. Bekerja sebagai pelayan rumah makan, dengan gaji dua juta. Sebuah tawaran menggiurkan. Dia belum pernah memegang uang sebanyak itu. Di Jakarta, meski juga ditawarkan bekerja di rumah makan, dia hanya digaji tujuh ratus ribu. 
’’Bagaimana? Kalau kamu mau, selepas saya tutup warung, kita ke rumah teman saya itu.’’

Nining tidak berkata. Dia hanya menggangguk pelan. Entah setuju atau karena rasa kebosanan menunggu temannya yang tak kunjug muncul. Satu jam kemudian, mereka sudah berada di sebuah rumah. Rumah itu seperti tempat penampungan. Beberapa wanita seumurnya terlihat duduk-duduk di depan teras.

’’Mereka itu menunggu giliran untuk dibawa ke Medan.’’ kata seorang pria yang tengah menyulut rokok.
Sejurus kemudian, seorang laki-laki bertubuh gempal dengan rambut lurus tersisir rapi, keluar menemui Nining, bersama si pemilik warung.
’’Maaf, lama menunggu. Silahkan duduk.’’

Dia lalu menceritakan segala hal yang akan dijalani Nining kelak. Tidak terlalu lama, tapi Nining seperti mengerti. Dia sudah membayangkan, bulan pertama gajian, akan kirim ke kampung, menebus sawah emaknya yang sempat digadaikan karena sakit bapaknya tak kunjung sembuh. 

Jika ada lebih, dia akan simpan. Dua bulan selanjutnya, uang berlebih itu akan kirimkan ke si bungsu Sukri yang sering demam karena keinginannya tak kunjung bisa dipenuhi bapaknya : sebuah sepeda bekas milik Narto, anak tetangga sebelah yang mau dijual bapaknya.

’’Malam ini kamu nginap di sini. Besok sekitar pukul sembilan pagi, kamu diantar ke terminal. Jadi istirahatlah dulu, karena perjalanan ke Medan cukup melelahkan.’’ Khayalan Nining buyar seketika. Menunggu seharian di terminal membuat matanya mulai kelelahan. Baru sepuluh menit merebahkan badan, dia sudah terlelap dalam satu angan-angan dalam tidur yang singkat.

Sebuah cita-cita untuk merobah nasib dan menaikkan harga diri keluarga. Satu usaha untuk sekedar merasakan bagaimana enaknya punya sepedamotor sendiri. Sejuta keinginan yang hendak dia pertaruhkan di tempat kerjanya yang baru. Satu kota yang dia dengar tapi tak pernah dia tahu : Medan! Keinginan itu sekarang sudah ada di depan mata. Nining dan empat wanita sebaya dia tengah bersiap-siap dengan tas masing-masing.

’’Yang ke Medan ikut Mas Bambang. Yang mau ke Pekan Baru, nanti pukul 10.00 diantar langsung ke tempat Pak Sunardi. Adik-adik yang ke Malaysia, jangan lupa bawa surat-suratnya.’’ Pria yang kemarin malam menyapa Nining, terlihat sibuk mengatur keberangkatan. Empat unit kijang warna hitam tengah parkir di halaman depan. 

Dua jam berlalu, Nining tengah menelanjangi setiap kota demi kota yang ia lewati. Terasa asing, tapi mimpi yang hendak dikejar begitu mendorongnya untuk terus tersenyum. 
Senyumnya terus tersungging meski kini kota yang asing baginya sudah di depan mata. Terminal yang sumpek dan hingar-bingar teriakan kernet angkot mencari penumpang.
’’Sewa.. sewa... Padang Bulan! Binjai!’’

’’Kamu tunggu di sini aja. Ntar ada yang jemput. Nanti abang yang serah terima,’’ kata sopir bus yang sejak dari Purwokerto tampak begitu akrab. Berselang kemudian, mobil dimaksud datang. Dua pria menghampiri Nining.
’’Kamu yang dari Purwokerto?’’ Nining mengangguk pelan. 

’’Rumah makannya di mana, Bang?’’Nining berusaha mencari tahu.
’’Ikut kami saja.’’ Nining pasrah. Dia tak paham kota ini. Dia semakin tidak paham, saat mobil yang membawanya menjauh kota. Melewati perbukitan dan dingin yang menusuk tulang. 

Rimbunan pohon berdiri tegak menyucuk tanah yang lengang dan sepi. Cericit burung ditingkahi gemericik air di sungai, menghitung detik demi detik. Mobil membawa perempuan berambut lurus tebal itu ke tempat pekerjaan barunya.

Nining hanya memandangi lekuk demi lekuk tanah perbukitan dalam mimpi yang terbayang indah. Satu harapan baginya kelak, di tempat pekerjaan baru itu, nasib akan diobah.
’’Bagaimana perjalanan Purwokerto-Medan? Capeklah, ya.’’

Pria yang menyetir di depan memecah kesunyian jalan. Sambil menyulut rokok. Dia melirik dari kaca, memandangi Nining dalam tatapan nakal. Nining hanya tersenyum kecil tanpa tahu arti pandangan pria itu.

’’Nanti kamu kerja yang bagus. Jangan pilih-pilih tamu. Kalau kamu pintar melayani, tamu pasti akan memberi tips banyak.’’ Lagi, Nining tersenyum. Kali juga tanpa tahu arti pernyataan itu.

’’Nanti apa kata Bu Suri, jangan dibantah. Dia sedikit cerewet.’’ Nining mencoba menebak, rumah makan seperti apa tempatnya bekerja itu. ’’Ntar, kalau abang pengen, kamu jangan lupa, ya?’’ Nining semakin tak bisa menyelami arti kalimat pria yang selalu meliriknya nakal lewat kaca itu.

Perjalanan sepertinya telah mendekati senja. Di langit, mendung mulai menggantung. Satu persatu, tetes hujan turun. Di tepian jalan, telah terlihat jejeran rumah. ’’Masih jauh, bang?’’ Nining hendak mempercepat kerinduannya terwujud untuk bekerja.

’’Lima menit lagi. Udah pengen sekali, ya?’’ Lelaki itu makin nakal menelanjangi Nining dalam tatapan. Nining terdiam dalam tanya yang menggelantung pikirannya. Belum usai dia mencoba memecah teka-teki itu, mobil telah memasuki gerbang sebuah bungalow. Di sisi kanan dan kirinya, sejumlah bungalow lain tertata rapi. Seorang perempuan berusia kira-kira 40 tahun menghampirinya.

’’Kamu istirahat dulu. Besok mulai kerja. Di kamarmu sudah ada pakaian dan segala perlengkapan kerja.’’ Wanita itu meninggalkan Nining sambil tangannya menunjuk kamar dimaksud. Kelelehan di perjalanan menidurkan Nining dalam lelap.

Di kamar itu, di pagi dingin yang menusuk tulang, Nining terjaga. Matahari sudah menampakkan diri. Sesekali klakson bus angkutan ke Medan memekakkan telinga. Dia memandangi setiap sudut daerah itu. ’’Mungkin rumah makannya tidak di sini,’’batin Nining.

Jelang tengah hari, dia masih di kamar sendirian. Seorang pria mengantarkan makanan dan berlalu begitu saja. Nining tak sempat untuk bertanya. Saat matahari mulai sudah masuk peraduan, wanita yang menyambutnya menghampiri.

’’Kamu siap-siap. Malam ini sudah mulai bekerja. Sebentar lagi jemputan datang.’’ Dia hanya berkata singkat dan berlalu. Setengah jam berselang, seorang pria menaiki sepedamotor menghampiri Nining.

’’Ayo, naik!’’. Seolah dibius, dia telah menembus malam dingin menyusuri jalan mendaki. Tak ada kalimat pertanyaan. Seolah berlalu begitu saja, ketika kini Nining berada di kamar bungalow dengan seorang pria yang asing baginya. Seorang lelaki 40-an itu yang tersenyum nakal.

’’Santai saja. Jangan takut. Om kasih tips lebih.’’ Nining tak kuasa. Tangis kecil menembus malam pekat. Dia lemah. Kini terkulai dalam cengkraman, mengubur mimpi-mimpi indah tentang kampung halaman. Malam pekat, sepekat hati Nining ditimpa resah. Malam dingin, sedingin hati wanita yang beku. Sebuah kepasrahan dipaksa waktu. Malam memindahkan 

Nining dari satu pria ke pria berikutnya. Langit-langit kamar, hanya mampu memandang jeritan batin Nining, tanpa bisa menuntaskan dendam tersumbat. Kasur mulai lelah menimpa nafsu para lelaki hidung belang, tak kuasa mengirim rindu Nining ke emak-bapak di kampung. 

Bayangan sepeda motor, sepeda Sukri, kini tinggal kisah seribu satu malam. Bunga itu, layu di Bandar Baru.
2008

Tidak ada komentar: